Skip to main content

KAU (BUKAN) MASA DEPANKU


Oleh: Huriyyatul Wardah

Indah seperti bianglala seusai langit pekat di sore yang dingin. Bisik-bisik itu tentangmu membuatku ingin mengenalmu, lebih jauh. Kau sosok baik hati yang Eros tunjuk untuk mengisi sepenggal kisah masa muda yang sederhana, sesederhana desir angin yang hanya bisa dirasa tanpa perlu pusing memikirkan bagaimana wujud di baliknya, aku hanya percaya kau ada.

Pada waktu yang tak tahu kapan tiba-tiba kau menyelinap dan aku coba sembunyikan pada lubuk terdalam. Riang tawamu mengiringi langkahku menghampirimu. Sore itu di kesibukan kita masing-masing aku coba menahan diri untuk tidak menilikmu di balik gorden rumah kayu. Aku khawatir tertangkap basah sedang aku merasa belum layak untuk mengharapkanmu.

Aku teringat saat pertemuan pertama kita yang klise di sebuah lapangan tak begitu luas. Lebih tepatnya aku menemukanmu, sedang kamu tengah bergurau dengan kawanmu. Pertemuan itu mendatangkan getaran asing yang baru pertama kali aku rasakan seumur hidupku. Lebih anehnya aku justru menyukai getaran asing yang agak sedikit bergairah itu.

Berjalannya waktu membuatku kerap terpikirkan tentangmu yang abu-abu. Cara mewahmu berbicara di depan umum, waktu yang membisu di percakapan pertama kita, lengkingan suaramu yang memikat, humormu yang membuatku tak melewatkan tawa bersama, hal-hal kecil tentangmu yang mulai terasa istimewa yang justru membuatku merasa bersalah dengan perasaan yang mulai tumbuh tak berbenah.

Namun waktu tentangmu tak selamanya indah. Duka datang melengkapi ketidakhadiranmu yang tak seharusnya aku rasakan. Itu menyiksaku dan membuatku kesal, kepada diriku sendiri. Aku merana pada yang bukan milikku. Dada ini sesak lewat kabar yang tak seharusnya aku dengar. Kerinduan ini mulai terasa egois.

Decit suara pintu yang perlahan terbuka dari halaman belakang mempertemukanku denganmu yang tengah berdiri menatapku. Kedua mata kita yang bertubrukan seketika saling berjauhan mencari arah aman untuk pura-pura tak terlihat. Getaran aneh itu muncul kembali dan seketika membuatku gugup, sedang sosoknya bingung. Tanpa suara kita saling menjauh pada arah yang berlawanan. Kita menuju akhir yang berbeda, yang sayangnya semua harus berakhir di persimpangan Timur dan Barat.

Bersama lembayung di cakrawala dan gema pertanda senja beranjak usai, aku berhenti dari khayalan yang tak menepi. Bias lembut di ujung langit yang mulai menua melunturkan setiap ukiran senyum yang menggoda. Aku menikmatinya untuk beberapa saat sebelum tersadar pada dentang waktu yang kembali.

Kau warna baru dari tinta lukisan yang aku torehkan pada kanvas putih bersih, lukisan cantik untuk mengenang masa mudaku yang sederhana. Lewat sosokmu, telah mengenalkanku pada bisu yang membiru. Kau nyata, kau ada, tapi bukan untuk kuikat.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...