Skip to main content

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’



Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Penulis : Tere Liye

Penerbit : Sabakgrip

Tahun Terbit : Februari 2024

Tebal : 371. hlm

Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani.

Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye.

Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu argumentasi soal perizinan konsesi perusahaan tambang dengan aktvis lingkungan pun menarik disoroti, pasalnya orang-orang biasa ini bertekad untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan dengan cara melawan sebuah perusahaan tambang besar yang bisa membeli hukum dan kekuasaan di negeri ini.

“Saat hukum dan kekuasaan dipegang oleh serigala-serigala buas berbulu domba. Saat seluruh negeri dikangkangi orang-orang jualan sok sederhana tapi sejatinya serakah. Apakah kalian akan tutup mata, tutup mulut, tidak peduli dengan apa yang terjadi? Atau kalian akan mengepalkan tangan ke udara, LAWAN!” – Tere Liye.

Untuk novel setebal 371 halaman ini, teknik menulis Tere Liye selalu lihai membuat pembacanya tak kehabisan minat untuk menghabiskan satu buku tuntas. Saya sendiri merasa seolah-olah hadir di persidangan itu (padahal dicerita itu sidang tertutup, hehe), menyaksikan bagaimana situasi di ruangan 3x6 dan seluruh rentetan peristiwa yang dibawa para saksi untuk melawan pengacara kondang pembela perusahaan tambang itu.

Ceritanya yang begitu dekat dengan realitas di negeri ini, dimana tim aktivis lingkungan yang terdiri dari pengacara, movie maker, wartawan, dan pemilik kedai kopi mati-matian melawan para perusak lingkungan, pelaku tambang ilegal berkedok pembangunan, suap yang seolah menjadi prestasi, menjadikan ending pada novel ini sebenarnya bisa ditebak. Namun tetap saja cerita di setiap babnya membuat saya penasaran. 

Perlu digaris bawahi bahwa buku ini termasuk fiksi 18+ karena banyak kisahnya yang dibalut dengan adegan kekerasan, penghasutan, hingga kebohongan yang tentunya perlu disikapi dengan bijak oleh pembaca.

Meski telah menjadi lagu lama bahwa perlawanan terhadap penguasa serigala berbulu domba memiliki akhir yang sama, Tere Liye tetap menghadirkan alur plot twist di akhir cerita yang membuat novel ini begitu dramatis. Melalui novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar ini ada pesan yang disampaikan penulis, bahwa yang terjadi pada orang-orang dengan pengetahuan mumpuni kadangkala menjadikan itu sebagai senjata keserakahan hingga mengabaikan rasa empati yang penting terhadap orang lain.

Seperti nasihat bijak filsuf Yunani Plato, dimana lebih baik diam dan dianggap bodoh daripada berbicara dan menghilangkan keraguan. Dengan berlaku bodoh kita memiliki ruang untuk merefleksikan dan introfeksi untuk suatu persoalan, sehingga ketika bertindak bisa memberikan dampak yang lebih berarti. Berbicaralah dengan berani pada saatnya, tegas membela kebenaran dan keadilan bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk melindungi orang lain.

Saya rekomendasikan buku ini untuk para jiwa muda yang memiliki semangat juang untuk bersuara menyampaikan kebaikan dengan caranya masing-masing. Teruslah bodoh, jangan pintar, jika pengetahuan hanya kamu gunakan untuk menjerumuskan atau merusak kehidupan ini.


Comments

Popular posts from this blog

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...