Skip to main content

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Siang itu langit Bandung berseri, usai mengasah otak dari seleksi tes kerja tiba-tiba ada hasrat ingin mengunjungi Museum Pos Indonesia. Salah satu tempat yang menyimpan sejarah panjang tentang dunia pos.

Lokasinya terletak di Jalan Cilaki No. 73 Bandung, tepat berada di sayap kanan Gedung Sate. Berjalan menuju arah Jl. Sentot Alibasyah, menyusuri arah timur lapang olahraga Gasibu, lalu menyeberang dan mengambil jalan ke tenggara menuju Cilaki St penulis pun sampai di lokasi.

10 menit berjalan kaki tibalah di depan gedung Museum Pos Indonesia, sebelum masuk sebuah tugu menyita perhatian penulis. Ternyata itu adalah tugu dengan coretan puisi dari Chairil Anwar lengkap dengan nama para pejuang yang ditampilkan di Tugu Peringatan Pahlawan P.T.T. 

Dari sumber yang tertulis ternyata museum yang menyimpan sejarah pos itu sudah berdiri sejak masa Hindia-Belanda pada tahun 1933 dan sebelumnya ternyata bernama Pos Telegraf dan Telepon (PTT).

Meski pernah terbengkalai, kini setelah diberdayakan kembali Museum Pos Indonesia menyimpan rapi peninggalan-peninggalan perlengkapan pos dari sejak masa kolonial.

Ada ribuan prangko dari berbagai negara, macam-macam mesin timbang, kendaraan mengangkut surat, alat pembelian prangko, hingga seragam pengantar surat dari generasi ke generasi, dan banyak lagi (terlalu banyak sampai tidak bisa dihafal semua, hihi).

Saat memasuki Museum Pos Indonesia penulis disambut oleh senyum kakak-kakak PKL, sebelum masuk penulis diharuskan melakukan registrasi dengan mengisi buku tamu yang kemudian di arahkan masuk melalui tangga di sebelah kanan dari pintu masuk.

Jalur Masuk Museum Pos Indonesia

Pertama kali memasuki ruangan yang bersekat-sekat, penulis dibuat kagum dengan ribuan prangko yang pernah ada sejak jaman kolonial. Iya, ada banyak prangko dengan berbagai tema yang dikoleksi di sana.

Ada banyak tema bunga, kepalangmerahan, hingga prangko berbahan emas yang dibuat untuk mengenang bu Tien, istri Pak Soeharto yang merupakan Presiden ke-2 Indonesia.

Koleksi Prangko Palang Merah di Museum Pos Indonesia

Banyak juga koleksi prangko yang dibuat dalam rangka menjalankan kerja sama antarnegara atau di sana ditulisnya sebagai Joint Stamp Issue. Di antaranya terpajang prangko antara Indonesia-Persemakmuran Australia yang dicetak pada tahun 1996, Indonesia-Jepang dicetak tahun 2008, Indonesia-Korea Utara dicetak tahun 2015, dan Indonesia-Thailand dicetak tahun 2016.

Yang menarik perhatian penulis adalah penerbitan prangko di tahun 2015 yang dibuat sebagai bentuk penghormatan kerja sama antara Indonesia bersama Republik Demokrasi Korea.

Penerbitan prangko tersebut di dasarkan pada kunjungan diplomatik Presiden Korea Utara Kim Il Sung pada April 1965. Seperti kisah yang sudah banyak beredar bahwa pada kunjungan tersebut presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno pernah menghadiahkan bunga anggrek jenis Dendrobium asal Makassar.

Bunga anggrek berwarna ungu dengan sentuhan pink itu sekaligus menjadi hadiah ulang tahun untuk presiden Korea Utara dan lambang persahabatan antara dua negara. Semenjak saat itu di Korea Utara bunga tersebut dikenal dengan nama Kimilsungia.

Kimilsungia adah perpaduan nama antara Kim Il Sung dan Indonesia, bunga ini tumbuh subur di Korut dan menghasilkan 6-7 kuntum setiap tangkainya.

Prangko Indonesia-Republik Demokrasi Korea

Semakin masuk ke dalam, penulis menjumpai lebih banyak sejarah berbagai jenis surat dan perkembangan bahasa yang digunakan dalam surat dari berbagai daerah, ada juga Surat Emas yang merupakan surat dari raja-raja kepada para pejabat kolonial dan naskah Nusantara yang disimpan di British Library dan di reproduksi.

Kita pun akan menjumpai sejarah perposan dari masa ke masa, sejarah pencetusan prangko, hingga ratusan bendera sebagai simbol persatuan negara-negara UPU (Universal Postal Union) yang merupakan organisasi pos sedunia yang beranggotakan 192 negara termasuk Indonesia.

Jenis-jenis pengangkutan pos yang dipajang pun membuat penulis terbayang pada masa di mana surat saat dulu diangkut menggunakan sepeda ontel, kereta api, gerobak, dan motor. Belum lagi kotak surat dengan berbagai bentuk yang masih terawat semakin membangkitkan nuansa pada jaman dahulu.

Mesin Timbangan Surat

Sepeda Pengantar Surat

Sehari menyusuri histori dengan berkunjung ke museum adalah cara terbaik untuk mempelajari apa yang terjadi di masa lampau, memahami asal-usul, dan menyaksikan perkembangannya dari masa ke masa.

Koleksi Surat Museum Pos Indonesia

Penulis kembali teringat ucapan salah satu dosen yang pernah mengatakan jika ke Bandung harus coba mengunjungi Museum Pos Indonesia. Betul sekali, selain jadi mengetahui proses komunikasi dengan surat pada jaman dahulu kita pun akan belajar perkembangan Pos di Indonesia juga dunia.

Oh ya, akses masuk ke Museum Pos Indonesia ini gratis, lho. Plusnya pengunjung bisa mendapatkan wawasan dan rasa nostalgia.

Jika ingin mengunjungi Museum Pos Indonesia silakan datang di hari Senin-Sabtu dan dibuka mulai pukul 09.00-16.00 WIB. Namun, jika kebetulan datang pada hari Sabtu, sayangnya waktu kunjungan cukup singkat jadi perlu buru-buru karena dibuka pukul 09.00-13.00 WIB saja.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...