Skip to main content

Dunia Online

Oleh: Wardahau

Awalnya aku menikmatinya, belajar di rumah adalah suasana baru yang kini aku jalani. Alasannya memang menyebalkan, namun jujur saja aku sedikit menikmatinya. Dua bulan berlalu semenjak akhir Maret lalu. Belajar dengan sistem online membuatku memiliki banyak waktu. Entah itu untuk menjalankan hobby-ku, membantu ibu di dapur, bermain game online, hingga sempatnya ikut-ikutan menonton drakor.

Namun, banyak juga hal lama yang kini terpaksa aku tinggalkan. Selama dua bulan ini aku benar-benar tidak bisa bertemu dengan teman-teman, kadang  jika rindu kami hanya bertatap muka via video chat. Namun, rasanya asing. Tidak ada tawa lepas saat aku meledeki mereka, tidak ada sipu malu saat aku singgung soal kisah asmara mereka, lalu semuanya berakhir dengan kebosanan.

Berbicara tentang bosan, setiap aku bosan aku mengalihkannya pada apapun yang ada di handphone-ku. Berseluncur di dunia maya kadang bisa sedikit menghilangkan kebosananku karena harus tetap berdiam diri di rumah. Ah, tiba-tiba saja temanku memposting kisahnya dalam aplikasi berbagi foto. Dia memposting foto dirinya dengan caption perihal perpisahaannya dengan sang pacar. Rasa iba membawaku mengetikkan sesuatu di kolom komentar. “Semangat, jodoh akan tahu di mana ia harus berlabuh” komenku.

Tidak lama, puluhan orang ikut mengomentari foto upload-an temanku itu. Berbagai macam komentar aku temui. Satu hal yang aku sadari setelah selesai membaca satu persatu komentar itu, bahwa kisah sedih tidak melulu membuat pembaca atau pendengarnya ikutan merasa sedih. Nyatanya banyak juga orang yang murka dan menyudutkan salah satu pihak. Ada pula yang mencibirnya karena kisahnya terlalu kuno atau tidak di masuk akal. Orang-orang akan berpendapat sesuai dengan keinginannya. Menurutku, rasanya sia-sia jika tujuan hidup kita adalah untuk membuat setiap orang bahagia. Karena masing-masing orang itu berbeda, cara mereka menyikapi sesuatu pun pastinya akan berbeda. Jadi, yang semestinya kita pikirkan tentang kebahagiaan itu adalah diri kita sendiri. Meninggalkan kanal foto berbagi yang membuatku miris, aku kembali membuka notif pesan, ternyata itu pesan dari dosenku.

“Ini tugas analisis, saya tunggu hingga pukul 24.00 teng.”

Itu adalah neraka!!!

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...