Skip to main content

Bad News is A Good News Dalam Jurnalisme Kontemporer


Dewasa ini kita sering dipertontonkan dengan pemberitaan yang mengerikan. Setiap menyalakan televisi, scrolling di portal online atau membuka halaman di koran, tidak luput kita temui adalah berita-berita pelecehan seksual, kasus korupsi, bencana alam, kecelakaan, kemiskinan, pembunuhan, dan masalah-masalah lainnya yang seakan istilah bad news is a good news dipertegas menjadi konsep dalam pemberitaan di media Indonesia.

Bad news is a good news adalah istilah terkenal dikalangan insan pers. Berita buruk merupakan berita yang justru dianggap baik oleh para wartawan untuk diinformasikan kepada khlayak. Istilah yang tidak tahu asal usulnya ini menjadi kepercayaan tersendiri bagi setiap perusahaan media untuk memproduksi informasi. Hal itu diyakini, khalayak yang menerima sisi bad news tersebut akan mendapatkan warning agar hal buruk serupa tidak menimpanya, artinya media berpengaruh untuk membentuk kesadaran publik.

Kegiatan junalisme yang esensial ditentukan oleh sesuatu yang fundamental, yaitu fungsi kerja jurnalis adalah untuk memenuhi informasi khalayak (Reditya, 2021). Sebagai the fourth estate media memiliki peranan penting. Namun, saat ini diketahui bahwa jurnalisme memiliki konstruksi baru, yaitu bisnis. Elemen ekonomi yang menjadi salah satu bagian terpenting untuk keberlangsungan media. Seperti kata teori Marxis bahwa media massa merupakan kelas yang mengatur (Sudibyo, 2004). Disini saya sadar bahwa kegiatan jurnalisme di media bukan hanya pencetak informasi saja. Di balik itu semua perlu ada harga untuk informasi yang diberikan, yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi basis ekonomi media.

Pada realitasnya kerja liputan jurnalis memang memerlukan biaya mahal, terlebih desakan waktu menjadi alasan media perlu cepat dalam memberikan infomasi seakan menjadi dilema tersediri. Maka, pemberitaan dengan mengedepankan paradigma bad news is a good news dilakukan untuk menarik pembaca dan meningkatkan profit bagi media. Dalam masyarakat modern, isi media merupakan sumber-sumber informasi dominan, sehingga media dituntut untuk menyajikan berita yang benar sesuai dengan fakta. Tidak selamanya akurasi mudah ditegakkan, karena alasan ekonomis kini menjadi penghalang. Pemberitaan dengan judul click bait juga tidak sedikit kita temukan, kepala berita yang sensasional disajikan demi meraih cukup pembeli, jurnalisme kuning hadir karena alasan yang sama pula.

Pada media online kita ketahui jumlah pengunjung menjadi penentu pada peningkatan SEO (search engine optimization), yang merupakan upaya peningkatan rangking teratas dipencarian Google (Hardian Artanto, 2017). Kemampuan dari SEO adalah juga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pada media tersebut. Dimana visitor akan mampu melancarkan tujuan media, baik dalam meningkatkan brand atau menghasilkan angka transaksi.

Sekilas konsep bad news is a good news ini terasa melunturkan idealisme kewartawanan. Tuntutan dari pemilik modal yang menjadikan berita ada di antara harus menyajikan fakta yang aktual dan harus menghasilkan laba yang menjanjikan demi masa depan perusahaan ini terjadi kepada jurnalisme kontemporer. Maka, rasanya tidak salah juga jika banyak khalayak kritis khawatiran akan keberlangsungan pemberitaan di Indonesia bahkan dunia. Bahkan mempertanyakan independensi media dan berita tidak sedikit terjadi. Terlebih pada media yang dikendalikan oleh lembaga politik yang menjadi pemilik modal (Zulfebriges, 2003).

Maka, saya setuju dengan penjelasan konsep yang diungkapkan oleh Downie JR. dan Kaiser, bahwa konsep bad news is a good news bukan merujuk pada isi berita yang disampaikannya, melainkan pada media yang memberitakan. Maksudnya, yang dimaksud good news adalah kegiatan dan produksi jurnalistik yang dapat mengajak kebersamaan masyarakat dalam keadaan krisis. Dimana, informasi dan gambaran krisis yang diberikan itu mesti menjadi pengalaman bersama. Sedangkan bad news justru adalah ketidakcakapan media dalam melaporkan berita yang penting diketahui oleh khalayak. Media memberitakan secara tidak akurat dan tidak cover both sides atau ketidaklengkapan dalam memberikan informasi kepada khalayak (Santana, 2017).

Jadi, nilai suatu berita bisa dihitung kemanfaatannya melalui sejauh mana berita itu bisa mempengaruhi khalayak. Bagaimana khalayak yang menonton berita banjir dapat tergerak hatinya untuk bisa lebih peduli dengan lingkungan. Karena eksistensi jurnalisme memang seharusnya dilandasakan akan orientasi untuk apa jurnalisme ada dan untuk siapa, bukan ideologi atau misi pemilik media yang berorientasi pada kepentingan tertentu (Yudhapramesti, 2015). Jangan sampai apa yang menjadi tujuan pertama jurnalis adalah menyampaikan informasi fakta yang akurat menjadi menyeleweng dengan ketidak lengkapan informasi yang diberikan.

Dalam jurnalisme kontemporer, seharusnya laporan jurnalis mampu menciptakan bahasa bersama dan pengetahuan bersama. Melalui jurnalisme harapan masyarakat bisa terwujud, masyarakat menjadi tahu siapa korban dan siapa pelaku. Seperti fungsinya, media massa hadir sebagai watchdog, yang berarti  media massa melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat seperti lembaga sosial, politik maupun lembaga ekonomis. Pengawasan seperti itu perlu dilakukan sebagai cara mencegah adanya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan (Putra, 2015).



Referensi

Hardian Artanto, F. N. (2017). Penerapan SEO (Search Engine Optimization) Untuk Meningkatkan Penjualan Produk. Information Technology and Computer Science, 1, 2.

K, S. S. (2017). Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Putra, I. G. (2015, Maret 21). Memahani Peran Media Sebagai 'Watchdog' dan Masalahnya di Indonesia. Dipetik November 26, 2021, dari Memahani Peran Media Sebagai 'Watchdog' dan Masalahnya di Indonesia: https://www.portal-islam.id/2015/03/memahami-peran-media-sebagai-watchdog.html?m=1

Reditya, T. H. (2021, Oktober 10). Tujuan Jurnalisme. Dipetik November 26, 2021, dari Jurnalisme: Definisi, Tujuan dan Kekhasan: https://international.kompas.com

Santana, S. (2017). Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Purtaka Obor Indonesia.

Sudibyo, A. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS.

Yudhapramesti, P. (2015). Jurnalis dan Jurnaliesme dalam Fenomena Kontemporer. Jurnal Komunikasi, 10, 1.

Zulfebriges. (2003). Teori Media-Marxist: Sebuah Pengantar. MediaTor, 4, 1.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...