Skip to main content

Ramadhan: Tradisi Menyambut Bulan Ramadhan


Ramadhan tiba.

Semua orang tampak bahagia, sibuk menyambut bulan yang telah lama dinantinya. Bulan dimana jika kita berbuat amalan baik, maka lipatan pahala siap menyambut untuk dicatat malaikat Raqib.

Detik-detik menjelang Ramadhan, setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam menyambut bulan suci ini. Jika diperhatikan saat menjelang Ramadhan, banyak orang dari perantauan yang pulang ke kampung halaman untuk berkumpul bersama untuk menyambut bulan Ramadhan, jika dalam istilah Sunda ini dikenal dengan sebutan munggahan[1].

Tradisi munggahan sendiri bervariasi dilakukannya. Biasanya berbeda keluarga ya berbeda pula cara yang dilakukan. Ada yang pergi berwisata, berziarah ke makam orang tua yang sudah lebih dahulu mengahadap Sang Pencipta, berbagi dengan yang lebih membutuhkan dan bahkan ada yang melaksanakan acara makan-makan dengan keluarga besar sebagai tanda kebahagiaan dan suka cita bersama dalam mempersiapkan diri untuk menyambut bulan penuh ampunan ini.

Tradisi munggahan ini memang unik, karena biasanya kita mengekspresikannya dengan hal-hal kecil namun penuh makna. Esensinya hanyalah satu, yaitu berkumpul dalam artian kita saling bersilaturahmi dan saling memaafkan agar dapat menjalankan bulan Ramadhan pada tahun itu dengan khusu’ dan tentunya di ridhoi oleh Allah S.W.T.

Selain tradisi munggahan yang penuh arti, menjelang H-1 Ramadhan biasanya para ibu juga sibuk mempersiapkan menu untuk sahur di hari pertama. Belanja ini dan itu, memasak ini dan itu, hampir semua ibu dipastikan sibuk di dapur. Menu daging dan ikan biasanya menjadi salah satu menu andalan rumahan, sayuran hijau dan dessert buah segar disajikan sebagai pelengkap. Jika dipikir-pikir, rasanya lucu saja, mengapa para ibu memasak menu spesial hanya di awal dan di akhir Ramadhan saja ya, haha.

Kebersamaan saat terawih, sahur dan berbuka puasa di hari pertama pun menjadi salah satu moment yang paling ditunggu kebanyakan orang. Entah kalian pun merasakannya atau tidak, namun saat menjalankannya bersamaan dengan orang-orang yang kita kasihi moment tersebut justru terasa jauh lebih bermakna.

 



[1] Munggahan adalah tradisi masyarakat suku sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan pada akhir bulan Sya’ban.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...