Skip to main content

S U K A


Oleh: Wardahau


Untuk kamu yang aku kagumi

Ada pesan yang ingin aku sampikan padamu

Rasa berwarna merah jambu yang aku pikir itu bernama suka

Jangan bingung, aku suka padamu saat jumpa pertama kita

Ya, di bawah terik matahari yang membuatmu paling bersinar di antara yang lain

Aku rasa ada debar yang sangat kuat saat sentuhan pertama kita

Bolehkah aku definisikan rasa suka ini sebagai jatuh cinta?

...

Sepucuk surat aku kirimkan pada pria penyuka senja itu, pemilik wajah oriental yang setiap senyumannya membuatku kalah untuk menyembunyikan rasa sukaku. Wajah kebingungannya saat menerima suratku membuatku tersenyum malu-malu. Tekadku bulat, hari ini aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya.

Sorak teman-teman kelas menambah rasa gugupku siang itu. Bagaimana tidak mereka menyorakiku, aku memang sangat nekad. Surat yang aku beri amplop merah itu aku kirimkan langsung saat kelas Bahasa Indonesia. Dengan penuh percaya diri, aku mengamini undangan pak Gara untuk memberikan puisi yang telah kubuat kepada seseorang di kelas ini. Pikirku, ini adalah kesempatan bagus untuk bisa menyampaikan perasaan terpendamku selama ini.

“Aku ingin memberikan surat ini pada Jiwa,” ucapku lantang, walau wajah gugupku memang tidak bisa disembunyikan. Jiwa, yang merasa namanya dipanggil terlihat kebingungan. Entahlah apa yang dipikirkannya saat itu. Tapi, aku senang karena ia ingin maju ke depan kelas untuk menerimanya.

“Aku baca sekarang?” tanya Jiwa. Oh Tuhan, mengapa ia sepolos itu? jantungku yang sedang marathon ini benar-benar hampir lepas dari tempatnya mendengar pertanyaan Jiwa. Wajahku seketika merah padam, ya tentu saja aku malu. Aku kirim surat itu untuk Jiwa, namun bukan untuk ia informasikan ke seluruh teman kelasku.

Teman-teman kelas yang mendengar pertanyaan Jiwa seperti nelayan yang sedang memancing dan berjodoh mendapatkan ikan besar. Mereka sangat bersemangat meneriaki untuk segera membaca surat pemberianku. Suaraku yang tidak ingin Jiwa membacanya sekarang kalah banding dengan mereka yang ingin segera mendengarkannya.

Buka! Buka! Buka!

Sebelum membuka suratku, Jiwa menatap wajah merah padamku. Selintas aku melihat sedikit singgung senyumnya. Tangkup tanganku memohon agar Jiwa tidak membukanya sekarang. Dan Jiwa menerima sinyal itu.

“Sepertinya jangan sekarang,” ucap Jiwa yang langsung menutup kembali tutup amplop dan tuntu saja membuat seisi kelas merasa kecewa termasuk pak Gara yang sepertinya sedang menunggu momentum memalukan untukku.

“Aku ingin membacanya sendirian saja,” lanjutnya yang disambut sorakan tidak senang dari seisi kelas.

Aku dan Jiwa kembali ke tempat duduk masing-masing karena pak Gara akan segera melanjutkan pelajarannya. Sebelum kami duduk di bangku masing-masing Jiwa membisikan sebuah kata yang membuatku semakin percaya diri.

“Terimakasih suratnya,” lirihnya tepat ditelinga kananku.

Suasana kelas kini kembali normal. Pak Gara kembali membahas puisi, menerangkan rangkaian kata majas yang tentunya membuat sebagian siswanya menguap. Bisa terhitung berapa siswa yang masih serius mendengarkan pelajaran siang ini. Barisan belakang bahkan sudah ogah-ogahan dan menanti bel istirahat yang hanya tinggal 10 menit lagi.

Bahasa Indonesia cenderung termasuk pelajaran yang tidak disukai oleh sebagian siswa di kelasku, karena dianggap tidak menyenangkan dan terbelit-belit membahas rangkaian kata dan kalimat, mereka menganggap itu hanya memusingkan saja. Padahal bahasa Indonesia adalah bahasa ibu kita, identitas sekaligus menjadi kebanggaan kita, yang sudah semestinya kita pahami dengan betul karena itu adalah kekayaan bangsa. Namun, entah dimana awal mula permasalahannya muncul. Rasanya siswa-siswa ini merasa berat jika oleh gurunya disuruh untuk membuat bait puisi atau rangkaian kalimat cerpen, bahkan sekedar membaca karya yang sudah jadi pun mata enggak melek.

Kelas berakhir pada 11.50, saatnya untuk istirahat dan makan siang. Bel kemenangan menghamburkan para siswa dari kelas dan buru-buru pergi ke kantin untuk mengantre makanan.

Entah apa yang aku harapkan, aku malah masih diam di kelas walau perut sudah meminta jatah. Setiap jam makan siang, Jiwa memang sangat jarang pergi ke kantin, paling-paling ia pergi ke perpustakaan atau kesekretariatan OSIS. Aku pun tidak pernah bertanya mengapa ia jarang pergi ke kantin untuk makan siang, aku hanya memperhatikannya secara diam-diam.

Sunyi. Sekarang hanya ada aku dan Jiwa di dalam kelas ini. Jiwa masih sibuk dengan LKS-nya dan aku masih memperhatikannya. Memperhatikannya dari jarak yang tidak begitu jauh membuat jantungku kembali memberi sinyal. Sial, kenapa aku terus menerus ingin bersamanya seperti ini. Diam-diam aku menyukai kekosongan kelas, bersyukur atas kesunyian, dan dentang waktu antara aku dan Jiwa.

“Apa kamu tidak bosan melihatku?” Tanya Jiwa tiba-tiba. Aku tersentak dan segera membenarkan posisi dudukku. Mataku mencari objek pengalihan, berharap ada sebuah alasan yang bisa aku utarakan.

“Kenapa kamu tidak pergi makan siang?” tanyaku refleks. Sungguh bukan itu yang ingin aku katakan, tapi mengapa mulutku ini malah melontarkan pertanyaan yang tidak penting saja.

“Haha, kamu sedang mengalihkan pembicaraan?” senyumnya yang lebar membuatku tidak bisa menolak untuk menyukainya. Mungkin setiap wanita yang melihat senyuman manis Jiwa akan satu paham denganku. Deretan gigi putihnya dipermanis dengan gigi gingsul di sebelah kanan. Matanya yang menyipit saat tersenyum membuatku enggan lupa jika Jiwa memang sudah meluluhkan hatiku.

“Bukan, bukan, hanya aku memang tidak pernah liat kamu jajan di kantin,” ucapku membela diri. Jiwa hanya mengangguk tanpa menjawab.

“Jawabanmu bagaimana?” tanyaku mulai pada topik yang serius.

“Oh, karena aku biasanya bawa bekal dari rumah,” jawab Jiwa tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari LKS.

Aku menghembus nafas kasar. Bukan pertanyaanku tentang makan siang yang aku maksud, tapi soal surat tadi. Jiwa tidak peka dan membuatku sedikit kesal mendengar jawabannya. Masa iya dia tidak mengerti maksudku.

Jiwa tiba-tiba mendekatiku, berpindah duduk menjadi di sebelahku. Lagi-lagi jantungku berdebar diluar kebiasaan, sangat cepat dan membuatku berkeringat dingin. Udara panas mengelilingi pipiku dan menimbulkan semburat merah muda.

Wangi woody menghampiri penciumanku, aku suka itu. Lalu, sepasang bola mataku bertemu tepat dengan sepasang bola mata milik Jiwa. Bola mata yang tak begitu hitam, namun lebih cenderung ke arah warna coklat itu terlihat sangat indah. Dan jarak kami kurang dari satu meter saja saat ini. Jiwa memperhatikan wajahku dengan lekat dan tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arah wajahku. Jantungku kali ini berdetak lagi dengan cepat. Suhu tubuhku pun juga malah ikut memanas. Mataku refleks terpejam saat kedua wajah kami bertemu kurang dari 10 cm.

Tep.

Bahu Jiwa terasa menempel dibahuku dan sesuatu juga terasa lepas dari punggungku. Aku langsung membuka mata, yang aku temui saat itu adalah tengkuk leher milik Jiwa. Aku menelan ludah dalam-dalam. Ah, Jiwa kamu benar-benar membuatku gila.

“Ini,” Jiwa mengacungkan sebuah note kecil yang ia ambil dari punggungku. Note yang bertuliskan ‘semangat ya buat dapetin Jiwa-nya!’.

Ah, bukan momen canggung seperti ini yang tadi aku bayangkan. Khayalan romantis yang tadi kubangun runtuh seketika oleh note sialan itu. Mata Jiwa menyelidik mencari celah kegugupan dari sorot mataku. Percuma aku palingkan wajahku, Jiwa tetap mendapati kegugupanku itu. Rutukkan untuk si pelaku pun tak hentinya terapalkan. Namun, sumpah serampah hanya tertahan ditenggorokan saja.

Senyum di bibir Jiwa melebar kala mendapati wajah kesalku. Ia tidak sedikit pun meminta pertanggung jawaban dari note tadi dan itu membuatku semakin kesal. Jiwa kini kembali duduk tenang di sampingku.

“Aku harap dimensi waktu berhenti dan hanya ada aku dan Jiwa di dalamnya. Aku suka, suka seperti ini, dan ingin terus seperti ini” 

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...