Skip to main content

Rentang Waktu

Oleh: Wardahau

Dahulu kita dekat, iya bahkan sering kali lempar canda dan tawa bersama. Tapi itu dulu, sebelum jarak memisahkan dan waktu bersama kita terlewatkan. Bentangan waktu yang tidak kita kira, ternyata merenggangkan ikatan di antara kita, kita sudah tidak lag sama, kepentingan kita menjadi berbeda.

Awalnya, aku kira ini salahku yang mungkin mengabaikanmu terlebih dahulu. Aku yang terlalu sibuk dengan segala kegiatanku, yang aku kira mungkin kamu akan mengerti dan akan menungguku. Aku terlalu percaya diri jika kamu akan selalu dipihakku. Kamu tidak akan meninggalkanku bahkan mengabaikanku. Ya, itu imajinasiku.

Aku sibuk bertanya-tanya ‘ada apa dengan kita?’. Banyaknya waktu yang kita lewatkan ternyata tidak menyembuhkan luka di waktu singkat itu. Rasanya tidak ada harga untuk semua kebersamaan kita.

Aku memang kecewa, hingga tidak dapat berpikiran jernih. Tapi, aku pun tidak tahan dengan diamnya kita. Keheningan ini membuatku semakin ingin memperbaiki kerusakan di antara kita. Jika aku yang salah, aku pasti akan meminta maaf. Jika kamu yang bersalah, aku akan siap memaafkan. Yang pasti aku hanya butuh kejelasan dan penjelasan tentang rumitnya hubungan kita.

Rentang waktu itu membangunkan benteng tinggi antara aku dan kamu. Apa kamu juga merasakannya?

Apa lebih baik aku mundur saja? melepaskanmu dan memulai hari yang baru. Apa itu akan semudah membuang kertas bekas pada tong sampah? Ah, mengapa aku tidak rela?

Kamu yang semakin jauh dari pandangaku membuatku semakin putus asa. Sepertinya badai ini tidak akan reda begitu saja. Kilat dan gemuruh, tertawa bersamaan melihat kesedihanku. Konyol rasanya bersedih pada ikatan yang tidak pasti. Simpul yang longgar memang bisa sangat mudah untuk terlepas. Tidak ada alasan untuk kita saling mengikat, ya Aku putus asa.

Bukan maksudku semua keadaan ini adalah salahmu. Jika kamu mulai ingin menjauh dariku itu memang hakmu. Bukan hakku untuk mengatur isi hatimu. Hanya saja, aku tidak mengerti dengan perubahan di antara kita.

Memang lebih baik kamu katakan benci, dari pada menunjukkan sikap yang tidak jelas. Yang membuatku terus-menerus bertanya-tanya tentang keadaan ini. Yang membuatku juga terus-menerus kecewa karena mengharapkan yang tidak pasti.

Tolong berhenti membuat semua ini rumit. Dan kiranya tidak ada yang bisa dipertahankan di antara kita, maka mari kita sudahi saja. Aku tahu ini sulit untukku, tapi aku pikir ini akan baik untuk kita.

Tidak usah mengasihaniku, waktu akan menyembuhkan semuanya. Waktu yang singkat saja bisa mengubah hubungan di antara kita, lalu mengapa tidak dengan mengubah perasaanku.

Mari melangkah dengan jalan kita masing-masing. Aku melepaskanmu pada ikatan yang tidak kita berinama itu. Pada perasaan semu, aku harap kita akan membaik bersama.

Senang bertemu denganmu.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...