Oleh : Wardahau
Mentari kini mulai
meninggi, teriknya perlahan menghapus sisa buliran embun pagi didedaunan. Suara
jangkring dan kodok kini berganti dengan merdunya kicauan burung. Beberapa
tupai berloncatan dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Para ayam berdatangan
ke depan halaman rumah, mencari cacing-cacing yang menancap di bawah tanah.
Langit biru membentang nan luas.
Kapas-kapas dilangit hampir tak terlihat kehadirannya. Cuaca begitu cerah. Hamparan
padi hijau menghiasi setiap kotakan-kotakan sawah, tak lupa beberapa petani
mulai berdatangan dengan menjinjing bekal makan siang. Di sudut lain dari desaku
para pelajar berjalan ramai menyusuri jalan. Ada yang berseragam putih biru
dongker, putih abu-abu, putih hijau, juga putih merah. Lalu lalang orang juga mulai
ramai di jalanan, bukan hanya pelajar yang berangkat sekolah, melainkan juga
orang-orang yang memiliki kesibukan. Juga para pejuang rupiah sudah berjejer di
pekarangan sekolah menyambut anak-anak yang doyan jajan.
Setiap pagi ibu-ibu di desaku sibuk
mengunjungi warung kecil milik ceu Euis. Warung yang terletak di tengah
perkampungan itu menjajakan berbagai macam gorengan dan jenis-jenis asakan.
Harga yang terjangkau menjadikan alasan kelarisan warung kecil itu. Jenis-jenis
gorengan disana hanya dihargai senilai lima ratus rupiah saja. Sedangkan macam
asakan bisa kita beli mulai dari harga dua ribu hingga paling mahal enam ribu
rupiah.
Desaku terletak di kaki gunung
Cikurai. Salah satu gunung yang menjadi pilihan para anak pencinta alam untuk
ditaklukan. Keramaiannya bukan hanya dirasakan dipemusim libur saja. Melainkan
di hari-hari biasa pun para pendaki tak kalah banyaknya. Bukan hanya dari dalam
kota, turis luar kota bahkan mancanegara pun banyak menginjakan kaki ke desa
kami. Sebenarnya rute untuk mendaki gunung Cikurai ini tidak hanya satu saja,
rutenya bisa juga diambil dari arah Bayongbong, namun rute disana masih
dikatakan ilegal, sehingga para turis kebanyakannya melewati desaku. Kali ini saja
entah sudah berapa kali mobil kolbak lalu lalang mengantarkan rombongan.
Sewaktu aku kecil keeksistensian
gunung Cikurai belum seramai diperbincangkan seperti saat ini. Jarang sekali
ada orang yang mau mendaki gunung itu. Warga sekitar pun paling-paling ke
gunung hanya untuk memetik teh, kopi atau menebang pohon. Aku pun biasa bermain
ke pamancar hanya saat hari minggu saja sewaktu libur sekolah.
Desaku kini tak seasri dulu. Dulu
para anak-anak biasa bermain di saung-saung sawah, bermain egrang di pekarangan
rumah, atau bermain lompat tali di lapangan sekolah. Bahkan ketika aku kecil,
sering sekali aku dan teman-temanku yang lain bertengkar karena memperebutkan
lahan bermain. Tapi kini sudah berbeda, teknologi merubah semuanya. Anak-anak
lebih senang bermain gadget dibandingkan bersenda gurau memainkan bp-bpan, atau
lebih senang mengendarai motor dibandingkan menaiki sepeda. Terlalu banyak
perbedaan.
Namun, itu bukanlah hal yang perlu disalahkan bukan?!. Zaman terus maju, kehidupan terus berjalan. Kian hari desaku kian berubah mengikuti zaman yang berkembang. Sejujurnya aku merindukan desaku yang dulu, desa yang menjadi tempat kuberpetualang.
Comments
Post a Comment