Skip to main content

Media Jurnalistik dan Framing

Oleh : Huriyyatul Wardah
 

Sudah ribuan tahun lalu media jurnalistik hadir. Melalui berbagai perkembangan teknologi yang diciptakan manusia kini hadir berbagai jenis media jurnalistik. Mulai dari media elektronik seperti radio dan televisi, kemudian media cetak seperti koran, majalah dan tabloid, dan kini hadir media baru yang menyuguhkan teknologi yang lebih modern, yaitu media online. 

Setiap media tentunya memiliki fungsinya masing-masing dan memiliki sistem kerjanya masing-masing. Perlu diketahui bahwa media jurnalistik yang memiliki tugas memproses peristiwa hingga layak dikonsumsi oleh masyarakat tidak terlepas dari pengerangkaan (framing). Media jurnalistik yang pada dasarnya dibuat oleh suatu kelompok pasti memiliki tujuannya tersendiri. Meski ending-nya adalah sama-sama menghasilkan produk jurnalistik, tapi pengerangkaan mereka terhadap suatu peristiwa diyakini berbeda.

Pengerangkaan dalam media dibagi menjadi dua bagian, yaitu framing jurnalistik dan framing media. Dapat dibedakan dari dua pengrangkaan tersebut bahwa framing jurnaliatik itu ialah pengerangkaan suatu peristiwa yang dibuat oleh hasil pemikiran dari wartawannya di dasarkan dari latar belakang pendidikan dan pengalamannya. Sedangkan framing media adalah ideologi yang dibawa oleh medianya kemudian diterapkan oleh wartawan ke dalam tulisannya.

Apa keuntungan media membuat framing?

Adanya pengerangkaan dibuat untuk proses identitas media. Dengan framing kita bisa mengetahui kemana arah media itu berjalan. Karena setiap media memiliki cara pandangnya tersendiri dalam melihat fakta di lapangan. Kerangka framing dapat kita lihat dari headline berita, isi berita, teknik penulisannya dan cara bagaimana jurnalis menekankan suatu fakta di dalam tulisannya.

Saya kira setiap orang pasti merasakan perbedaannya ketika membaca atau menonton  berita. Taruhlah kita menemukan berita terkait Covid-19. Pada berita di Kompas.com disana tertera judul “Istana Bantah Dugaan Pemerintah Sembunyikan Kasus Penularan Virus Corona Di Indonesia”, sedangkan pada kanal berita lain di Tribunnews.com ada judul berita “Mengapa WN Jepang yang Tularkan Virus Corona Tak Terdeteksi Pemeriksaan Kesehatan? Ini Kata Menkes”, dari dua judul tersebut kita bisa merasakan perbedaan yang signifikan. Dimana, pada judul di Kompas.com kita temukan pengerangkaan yang cenderung pro terhadap pemerintah kita. Namun, di Tribunnews.com lebih cenderung menyudutkan dan menyalahkan cara kerja pemerintah.

Keuntungan media membat framing tentu tidak terlepas dari cara media memancing ketertarikan khalayak agar terus membaca berita di medianya. Mungkin kalian sering melihat berita yang selalu menyuguhkan tema-tema kontroversial atau berita-berita yang hanya menyuguhkan SCC (Sex, Conflict dan Crime). Tipologi pers yang seperti itu di latar belakangi oleh ideologi yang mereka bawa dan didukung dengan framing berita yang mereka suguhkan.

Framing: Tampilan Sebuah Negara

Media massa disebut sebagai the fourth estate karena memiliki pengaruh yang besar. Adanya media massa menjadi identitas baru suatu negara, karenanya sebuah bangsa membutuhkan media untuk membuat album kebangsaannya. Tentunya, media memiliki kekuasaan dalam mengemas album kebangsaat tersebut. Masuknya berbagai budaya lain, politik dan ekonomi, tidak terlepas bagaimana media memberitakan informasi tersebut. Disini terjadi imitation culture, politic, habitate and etc yang dibawa oleh media.

Pengerangkaan yang dilakukan oleh media memberikan pengaruh terhadap bangsa yang menerimanya, medorong berbagai bangunan bangsa di tengah memodernisasikan diri dalam strukturalisasi kulturnya dalam kehidupan berbangsa.

Source: detiknews.com

Warna media dalam judul berita di atas membingkai bahwa kondisi kebangsaan kita saat ini sedang rapuh. Media menggambarkan pemandangan yang cukup memberi dampak kontra bagi sebagian masyarakat. Rasa tidak bersalah yang ditunjukkan oleh ketua KPK yang tidak memenuhi panggilan Komnas HAM menjadi kekesalan tersendiri bagi khalayak yang mengikuti pemberitaan terkait kasus TWK KPK. Mungkin kekecewaan juga ikut hadir menyelimuti. Sudut pandang media bermain mengolah peristiwa kebangsaan itu dan menjadikannya identitas kebangsaan melalui proses komunikasi antara khalayak dan penyampai pesan.

Lalu, bagaimana pendapat kalian? 


Comments

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...