Skip to main content

Kisah Perjalanan Pendakian Pertama (Gn. Guntur)

 Oleh : Wardahau

         Siapa tak kenal dengan pesona Gunung Guntur? Gunung yang selalu menjadi pijakan para pendaki ini memang tak pernah lengang keeksisannya. Seperti kedatangan 10 orang muda-mudi yang untuk pertama kalinya mencoba mendaki, dan memilih Gunung Guntur sebagai wahana untuk ditaklukkannya.

            Di bawah langit yang sedari tadi cerah, kian lama kian meredup. Satu dua tetes butiran air dari langit menetes pada pipi, tangan, baju, dan yang lainnya. Tanda-tanda hujan sudah tiba. Dengan mengambil rute samarang, Cikahuripan, mobil pick-up yang ditumpangi berhenti di sekitaran kebun warga. Kisah perjalanan panjang akan segera di mulai.

Sesampainya, semua orang segera turun dari mobil pick-up sembari menggendong tas gunung masing-masing. Melanjutkannya dengan berjalan menyusuri ladang dan kebun para warga. Ditemani dengan rintik hujan yang kian membesar, cukup untuk membuat pakaian para pendaki ini kebasahan. Sekitar 15 menit-an berjalan, rombongan sampai di basecamp, tempat registrasi juga rest area sebelum naik dan sesudah turun gunung.

Rombongan yang berisi 2 laki-laki dan 8 perempuan itu segera menepi dan mengambil tempat disebuah gubug berdindingkan anyaman bilik. Beristirahat sejenak, meneduh dari derasnya hujan sembari mengurus registrasi sebelum melanjutkan untuk menaklukan kegagahan Gunung Guntur. Karena waktu sudah memasuki waktu Salat Zuhur, satu persatu bergiliran  mengambil air wudu, lalu menunaikan Salat Zuhur dan Asar. Salat dilaksanakan dengan cara Salat Jama Taqdim, yaitu menarik waktu Salat Asar pada waktu Salat Zuhur. Hal ini diperlukan dalam suatu perjalanan panjang, karena dipastikan tidak akan ada tempat untuk salat lagi setelah nanti mulai mendaki.

Di saung kecil berbentuk rumah panggung yang dindingnya terbuat dari anyaman bilik ada seorang pria yang sedikit tambun menyambut dengan ramah. Lalu lalang orang bergantian untuk melakukan registrasi di saung kecil itu. Cara untuk registrasinya pun tidaklah sulit, cukup mencantumkan semua nama yang akan berangkat dalam sebuah buku berukuran besar yang tersedia, kemudian mengisi sebuah perjanjian di atas kertas putih berukuran A4, dan menyerahkan KTP ketua rombongan, untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu dengan rombongan ketika di atas sana.

Setelahnya, pria tambun itu menghitung jumlah nama yang telah dituliskan, lalu ia mengkalkulasikannya dengan harga. “Semuanya sepuluh orang ya. Perorangnya bayar 15 ribu. Jadi total seluruhnya 150 ribu.” Ucap penjaga sembari memperlihatkan kotretan di kalkulatornya.

“Oh iya neng, ada yang bawa tissue basah?” Tanya penjaga memastikan.

“Emang gak boleh bawa tissue basah ya pak?” Saya balik bertanya.

            “Gak boleh neng, soalnya tissue basah itu penguraiannya cukup lama, kalo tissue kering biasa sih itu boleh.” Papar penjanga menjelaskan.

Matahari kembali menyembul dengan memberikan sinarnya pada dunia yang telah basah kuyup. Dari kejauhan Gunung Guntur terlihat gundul dan tak berwarna, tak seperti halnya Gunung Cikurai yang hijau membahana dilihat dari kejauhan. Dan nyatanya di atas sini jarang sekali terlihat pepohonan besar nan rindang, yang ada hanyalah pohon-pohon kecil dan pohon-pohon dengan batang coklat menghitam bekas kebakaran tersebar disepanjang track yang terlewati. Jika di musim panas, pastilah berjalan disini akan terasa sangat gersang.

Sepanjang perjalanan dipastikan akan satu dua kali, bahkan berkali-kali berpapasan dengan orang-orang yang hendak turun. Sesekali bertukar senyum dan saling menegur, memberikan semangat pada satu sama lain. Pemandangan seperti itu tidaklah asing lagi bagi para pendaki. Dalam perjalanan panjang ini kesolidaritasan memang selalu tertumpuk di dalam dada bukan? sesama pendaki akan saling tolong menolong agar dapat sama-sama sampai pada tujuan, puncak Gunung Guntur.

Rintik hujan kembali mengguyur kala rombongan hampir sampai di pos pertama. Jalanan yang cukup licin menjadi semakin licin karena hujan. Entah untuk keberapa kalinya terlihat orang-orang yang hampir terpeleset dan jatuh ke bawah. Saat-saat seperti ini, haruslah pintar-pintar mencari pijakan yang tepat dan mencari pepohonan sebagai tiang penopang.

“Jangan pegang ranting-ranting kecil kayak gini wardah, yang kayak gini gak bakal kuat. Cari pegangan ranting yang besar-besar saja.” Ucap pemuda bernama Aji sembari menunjukan ranting mana saja yang boleh dan tidak boleh untuk jadikan pegangan.

Semakin tinggi mendaki, curah hujan pun ikut meninggi. Diantara lelah dan dingin, semuanya harus tetap dilanjutkan. Puncak gunung pun semakin dekat untuk digapai.

˜

Waktu kian sore, jam menunjukan pukul 15.00. Hujan deras yang tadi mengguyur berhenti dan berganti lagi dengan sinar matahari. Akhirnya setelah melewati dua pos yang saling berjauhan, rombongan sampai juga di pos ke-3. Di pos tiga ini terlihat banyak para pendaki yang duduk beristirahat sembari menyeduh mie, sekedar untuk mengisi perut yang dingin dengan kuah mie panas. Kepul asap rokok ikut membumbung tinggi terbawa oleh semilir angin. Sebagian yang lainnya mencoba mencari kehangatan dipinggiran kompor portable yang hanya mengeluarkan api kecil.

Setelah perut kenyang diisi dengan kuah mie panas, perjalanan kembali berlanjut. Rombongan tadi terpecah menjadi tiga. Empat orang sudah memimpin, mereka sudah mulai merayap ke atas puncak. Kemudian disusul oleh tiga orang lainnya. Tapi sayangnya mereka malah salah mengambil jalur. Mereka melewati track yang seharusnya untuk jalan pulang. Alhasil jalan yang mereka lalui dua kali lipat menjadi lebih terjal. Track disana tidak ada pijakan, semua jalurnya adalah pasir tanah. Dan tiga orang sisanya yang paling terbelakang masih sangat jauh tertinggal. Bagaimana tidak, setiap tiga atau empat kali melangkah, kami memutuskan untuk beristirahat. Merayap ke atas puncak dengan menggendong tas berukuran 60 Lt terdengar sangat mengerikan, bukan?

Perjalanan panjang ini tak dibuat sepi, obrolan demi obrolan bergulir begitu saja. Meski baru pertama kali bertemu, kami tidak saling canggung dan tidak saling malu-malu. Aji cukup ramah dan menyenangkan, asyik untuk diajak mengobrol tentang apapun. Kami bertukar cerita tentang kehidupan kampus masing-masing. Kebetulan Aji adalah anak Informatika di Sekolah Tinggi Teknologi Garut (STTG), dia baru semester enam dan yang pasti memiliki pengalaman yang berbeda dengan saya yang mengemban Prodi Ilmu Komunikasi. Selain berkuliah Aji pun bekerja di R Channel, Televisi swasta yang ada di Garut.

Untuk kesekian kalinya, hujan kembali mengguyur perjalanan kami. Jalanan yang memang bertekstur pasir, semakin sulit saja untuk dijadikan pijakan karena terkena air hujan. Sebaiknya jika mendaki kala musim hujan adalah harus menggunakan sepatu khusus untuk mendaki, karena memakai sepatu itu akan sangat membantu kala hujan seperti ini, tidak akan mudah terpeleset karena memiliki alas karet yang lebih kesat dari pada sepatu seperti biasanya.

Namun, benar seperti kata pepatah. Tidak ada usaha yang tidak mebuahkan hasil. Meski sepanjang jalannya dipenuhi dengan keluh kesah, tapi jika mau terus berjuang, ujungnya kita pasti menemukan titik hasilnya. Seperti rombongan yang satu ini, mereka adalah para pendaki amatir yang baru pertama kali mencoba mendaki, namun dengan kerja kerasnya setelah kurang lebih 5 jam perjalanan, akhirnya kita semua benar-benar menginjakkan kaki di atas puncak Gunung Guntur.

“Yeayy kita nyampe.” Teriakkan girang terdengar renyah.

Berbagai macam warna warni tenda sudah berdiri kokoh sejauh mata memandang.  Rombongan kami pun ikut mendirikan tenda diantara tenda-tenda yang sudah berdiri. Tiga buah tenda kami pun berdiri sama kokohnya seperti tenda para pendaki lainnya.

˜

Tak terasa sore kini berganti dengan malam, langit yang kelabu berganti dengan hitam pekat. Tidak ada indahnya sunset seperti kebanyakan yang orang katakan. Yang ada hanyalah kabut sepanjang mata memandang. Di musim penghujan ini, alam tidak banyak menampilkan keindahannya, seperti para bintang pun tak bertebaran indah di atas cakrawala sana. Malam dengan ditemani rintik hujan sedikit menyiksa bagi para pendaki yang amatiran. Semua serba basah dan tidak nyaman, itulah kata yang paling cocok untuk menggambarkan keadaan  ini. Setelah sepanjang jalan ikut diguyur oleh air hujan, beberapa pakaian dalam tas ada yang ikut kebasahan, karena sepanjang perjalanan tadi tasnya tidak dipakainya pelindung hujan.

Malam ini semua orang berlindung di balik tenda masing-masing. Melakukan banyak hal untuk mengusir kebosanan. Terdengar nyanyian ria yang diiringi dengan petikan gitar, ada yang dengan syahdunya melantunkan ayat suci Al-Qur’an, dan banyak pula yang bercengkrama sembari menikmati hangatnya kuah mie instan.

Malam semakin larut, desir angin semakin dingin. Badan-badan meringkuk mencari kehangatan. Mata ingin lelap, namun badan terus meminta dekapan. Sebagian sudah dengan berhasil membunuh malam dengan tidurnya. Sedang saya sendiri sedikit kesulitan untuk terlelap, beberapa kali mencoba menidurkan lelah. Membolak-balikkan badan berusaha mencari posisi ternyaman. Tapi, sang benak malah melayang pada kamar sebagai tempat ternyaman untuk membuang lelah ini.

˜

Suara takbir terdengar sayun-sayup terbawa desir angin. Mata perlahan terbuka dari pejap yang bahkan  sedari malam tak dihinggapi kantuk. Dingin dan basahnya tenda menjadi pengganggu saat raga meminta beristirahat. Kabut yang sedari malam menghalangi panorama sedikit demi sedikit terhempas oleh semilir angin pagi.

Langit yang masih pekat menampakkan sisa lampu kota yang indah untuk dinikmati oleh para pendaki. Seketika rasa takjub ikut beriringan dengan gema takbir dalam hati. Beberapa orang sudah mulai berkeliaran memilih spot terbaik untuk menyaksikan keindahan yang akan segera tiba.

Langit temaram begitu menawan dengan semburat jingga di cakrawala sana, udara dingin berganti dengan hangat Sang Surya. Keelokan pagi di atas Gunung Guntur bertambah indah dengan bahari awan yang membentang sejauh mata memandang. Pemandangan yang biasanya hanya dapat disaksikan lewat gambar dan video, kini nyata terekam dengan kedua bola mata. Lelah dan sesal tadi malam terganti dengan puas cantiknya pagi di Gunung Guntur.

Tidak semua keindahan itu dapat terekam oleh kamera, dan tidak semua keindahan itu mampu digambarkan oleh kata-kata, terkadang keindahan itu hanya dapat disaksikan oleh mata, disimpan dalam hati, dan hadir untuk dinikmati.

Menjajali berwisata ke puncak Gunung Guntur untuk pertama kalinya memberikan sensasi tersendiri. Banyak pelajaran juga yang dapat dipetik, salah satunya yaitu untuk mendapatkan hal yang indah itu tidaklah mudah, tentu memerlukan banyak perjuangan. Berusaha adalah bentuk pengorbanan, dan lelah adalah salah satu konsekuensinya.

Meski perjalanan panjang ini diwarnai dengan banyak gerutu dan keluh kesah, tapi rasa syukur tetap terpanjat. Betapa beruntungnya saya dapat merasakan lelahnya mendaki demi menyaksikan keindahan yang belum pernah saya lihat, merekam keindahan Bahari awan di Gunung Guntur dengan kedua bola mata, disimpannya untuk kelak diingat. Semoga lain waktu saya dapat kembali menyaksikannya lagi, mungkin bersama orang yang berbeda.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...