Oleh : Wardahau
Malam kian
sunyi, sesunyi kelas yang baru saja ditinggalkan para siswanya. Semua siswa
telah berhambur pergi memburu kantin. Hanya 30 menit waktu yang diberikan untuk
beristirahat. Sebagian dari mereka memanfaatkannya untuk mengisi perut,
mempersiapkannya agar tidak kelaparan ketika kembali melanjutkan pembelajaran
malam ini.
“Manda, ayo ke
kantin.” Tia merangkul lengan Manda, hendak menyeretnya untuk makan malam
bersama.
“Aku ada
urusan, Ti.” Ucap Manda seraya melepaskan rangkulan Tia di lengannya.
Tia mengangguk
mengerti. Mereka pun berpisah di lorong yang memisahkan antara toilet dengan
kelas. Tia melanjutkan perjalanan menuju kantin, sedang Amanda berbalik haluan kembali ke arah kelas.
Siapa sangka
kelas kosong itu terasa amat menentramkan bagi Amanda. Gadis 18 tahun itu
memang tidak senang dengan keramaian. hidupnya selalu sunyi dan sepi. Amanda
adalah sosok gadis yang tidak ingin lagi mengharapkan kehangatan. Baginya
perhatian dan rasa cinta adalah hal terburuk yang pernah ada di dunia ini.
Tidak ada masa depan dalam sorot matanya, yang ada hanya kesenduan. Tidak ada
orang lain dalam hatinya, yang ada hanyalah kesendirian.
Amanda membuka
pintu loker yang bergembok, dirogohnya beberapa buku. Kemudian ia beralih pada
loker yang lainnya dan merogoh beberapa pulpen serta aksesoris. Semuanya
dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Plastik hitam itu di jinjingnya
menuju atap bangunan. Tempat persembunyiannya, tempat yang paling sering Amanda
kunjungi di gedung bimbelnya ini, terlebih ketika suasana hatinya memburuk
seperti sekarang.
Amanda
mengeluarkan semua barang yang telah diambilnya tadi, dimasukkannya barang itu
pada tong besar berwarna hitam. Tangannya merogoh benda persegi panjang kecil
dalam saku roknya. Digesekkannya telapak ibu jari pada putaran pemantik. Api
kecil terlihat menyembul dari lubang kecil. Semburat senyum jahat terukir di
bibir Amanda.
“Lo lagi
ngapain?”
Kalimat
pertanyaan itu membuyarkan Amanda. Pemantik ditangannya terjatuh pada lantai
semen berwarna abu-abu. Kepanikannya segera dikuasai dengan rasa tenang dan
sikap dingin Amanda.
Laki-laki
berpostur tinggi itu menghampiri Amanda yang sedang menatap dingin padanya.
Laki-laki itu tidak menemukan raut takut atau panik seperti kucing ketahuan
mengambil ikan asin pada wajah Amanda. Semakin dekat langkahnya pada sosok
Amanda, yang ditemuinya hanyalah raut sedih dan kesepian.
“Lo lagi
ngapain?” Laki-laki itu bertanya untuk kedua kalinya.
Masih tidak ada
jawaban dari Amanda. Kehadiran laki-laki itu langsung tidak dihiraukannya.
Segera dipungutnya pemantik yang terjatuh tadi, kemudian pemantik itu kembali
menyalakan api kecil.
“Ya, bentar.”
Laki-laki itu segera merebut pemantik dari tangan Amanda, tangannya melesat
secepat kilat.
“Apa-apaan sih
lo!” Bentak Amanda kesal. Laki-laki yang dibentak itu malah tersenyum lebar.
“Akhirnya lo
ngeluarin suara juga, haha. Gue kira lo gak bisa ngomong karena gak ngejawab
pertanyaan gue.” Ucapnya sedikit bergurau.
Laki-laki itu
membuang nafas lega. Pemantik yang diambilnya tadi segera ia amankan ke dalam
saku celananya.
Amanda tak
habis pikir dengan laki-laki dihadapannya itu. Siapa dia? lancang sekali
mengambil pemantiknya tanpa permisi. Kemarahan sedang menguasai Amanda. Hati
dan pikirannya panas, ingin sekali ia mencakar-cakar laki-laki yang tak
dikenalnya itu.
Amanda memilih
pergi dari atap. Menghindarinya adalah pilihan yang tepat sebelum ia berpikiran
kalut dan melakukan hal yang di luar batas. Amanda sangat pandai menguasai
diri. Ia bisa bersembunyi di balik topeng. Berbohong adalah keahliannya. Sedari
kecil yang Amanda pahami adalah dengan berbohong semua bisa tampak baik-baik
saja. Hal itu yang selalu Amanda lakukan. Dengan berbohong ia dapat membela
diri, dengan berbohong ia dapat memiliki kepercayaan orang lain dan dengan
berbohong ia juga bisa membuat orang lain tidak perlu mengkhawatirkannya.
“Lo gak bisa
pergi gitu aja.” Sentuhan hangat itu menghentikan langkah Amanda. Lagi-lagi
laki-laki asing itu menghentikan Amanda dari segala yang diinginkannya. Disambutnya
tatapan lembut sang laki-laki dengan tatapan penuh kemurkaan dari Amanda.
“Lo siapa? dan
apa yang lo mau? kenapa lo ganggu gue terus? heh.” Tanya Amanda penuh
kemarahan.
“Ternya lo
banyak nanya juga ya, haha. Tapi pertanyaan gue gak ada satu pun yang lo jawab.
But, it’s okay and well sebaiknya lo gak usah memaksakan hal yang gak mau
lo lakuin, jangan sampai nurani lo malah nolak apa yang sedang lo lakuin.” Ucap
laki-laki itu seraya melepaskan genggamannya. Tangannya merogoh mencari pemantik
yang sempat tadi ia ambil dari Amanda. Dikembalikannya pada sang pemilik.
Sebaiknya
lo gak usah memaksakan hal yang gak mau lo lakuin, jangan sampai nurani lo
malah nolak apa yang sedang lo lakuin.
Perkataan laki-laki itu mengiang terus di kepala Amanda. Kapan terakhir kali ia
mengikuti kata hatinya? Amanda pikir sepertinya sudah tidak pernah lagi.
Hatinya ia tidak fungsikan dengan selayaknya, kemana perasaannya itu hilang?
Selalu saja egonya yang paling terdepan memimpin dirinya, hingga ketika nurani
berkata ‘jangan’ Amanda tidak pernah mendengarkannya lagi.
“Manda lo dari
mana?” Tanya Tia sembari menghampiri Amanda yang terlihat linglung.
Lamunan Amanda
tersadarkan dengan riuhnya suasana kelas. Tamy berteriak-teriak mengancam semua
anak di kelas untuk mengaku siapa yang telah mengambil buku-buku catatan
penting miliknya. Tamy selalu sensitif jika berkaitan dengan buku catatannya
itu, karena itu adalah barang berharga miliknya, harta karunnya. Di dalamnya
terdapat catatan lengkap mengenai kisi-kisi untuk ujian-ujiannya.
Tak kalah
hebohnya, Aranda juga menuduh-nuduh Nafasha yang mengambil pulpen dan
aksesorisnya. “Gue tahu pasti lo yang ngambil pulpen sama aksesoris gue! Ngaku
lo! dasar brengsek lo, itu barang-barang mahal dari luar negeri.” Bentak Aranda
pada Nafasha yang tertunduk ketakutan.
“Barang-barang
mereka tiba-tiba aja hilang. Aranda curiga sama Nafasha karena dua hari yang
lalu Nafasha pernah nanyain dari mana barang bagus milik Aranda. Terus si Tamy
malah marah-marah gitu sama anak-anak, katanya mereka pasti iri karena Tamy
selalu dapet ranking pertama dan mau nyontek hasil kisi-kisi ujiannya.” Papar
Tia tanpa diminta.
Amanda tidak
begitu menanggapi kericuhan suasana kelas. Masa bodoh dengan keadaan yang
sedang terjadi. Telinganya sudah ia sumpali dengan earphone. Amanda malas saja
harus mendengarkan ocehan orang-orang seperti mereka. Yang terus berbahagia,
yang senangnya dipuji, yang keinginannya hanya dimanja. Amanda mengacuhkannya
dengan mengerjakan soal-soal dibuku tugasnya.
Pemeran utama
selalu lemah, karena mereka selalu dilimpahi dengan takdir baik. Orang-orang
yang selalu menjadi pemeran utama pasti selalu banyak dicoba, toh mereka tidak
akan pernah merugi. Setelah kesusahan mereka pasti akan menemukan kebahagiaan
kembali, berlanjut terus seperti itu. Namun, berbeda dengan pemeran pembantu.
Mereka terlihat hanya pada saat-saat dibutuhkan saja. Mereka menjadi tidak
berguna jika tidak butuhkan. Mereka tidak pernah mendapat pujian, mereka pun
tidak pernah mendapat perhatian. Tugas mereka adalah membantu pemeran utama
agar terus bersinar. Oleh karenanya Amanda tidak suka orang-orang yang seperti
mereka.
Maka, Amanda
memilih menjadi pemeran antagonis. Karena mereka memiliki cangkang yang kuat,
mereka juga akan selalu terlihat tangguh. Mereka hanya akan tahu warna hitam
dan putih dalam kehidupan. Tidak perlu mengurus orang lain dan tidak butuh
orang lain, cukup dirinya saja.
R
Waktu pulang
telah tiba, pak Mahmud menutup pembelajaran hari ini. Riuh kebahagiaan para
siswa terpancar sudah. Seharian sekolah kemudian dilanjut dengan bimbel membuat
mereka berteriak kelelahan, jiwa raga mereka semuanya butuh beristirahat.
Tia dan Amanda,
mereka memutuskan pulang bersama. Semenjak Amanda masuk bimbel tiga bulan yang
lalu, Tia lah yang selalu menemani Amanda, istilahnya mereka mulai berteman.
Tia dan Amanda tidak berasal dari sekolah yang sama, namun mereka sama-sama
sedang berada dijenjang kelas 12. Alasan Amanda masuk bimbel karena ibunyalah
yang memaksanya. Meski Amanda terbilang anak yang cukup pintar, ibunya tetap
meminta Amanda untuk ikut bimbel dengan alasan persiapan untuk masuk
universitas. Sedangkan Tia, ia memang sudah lama ikut bimbel, sekitar dua tahun
yang lalu ketika ia baru masuk SMA. Tia sangat menyukai Amanda, karenanya ia
ingin berteman dengan Amanda.
“Tugas kimia
kamu udah beres?” Tanya Tia disela langkah-langkahnya.
“Udah.” Jawab
Amanda tanpa ekspresi. Tia tertawa geli. “Kenapa?” Tanya Amanda merasa aneh
melihat Tia yang tiba-tiba saja malah tertawa.
“Gak papa, cuma
lucu saja.” Jawab Tia yang kemudian disusul dengan gelak tawa lagi. “Lo lama
tinggal di Kutub Utara ya?” Tanya Tia menyelidik. Amanda menggeleng pasti,
jangankan menetap lama menginjakkan kaki di tanahnya saja belum pernah.
“Lo kaku,
dingin dan jalan pikir lo susah ditebak. Banyak hal yang mengejutkan dalam diri
lo.” Papar Tia.
“Hubungannya
sama tinggal di Kutub Utara apa Ti?” Tanya Amanda bingung. Pernyataan dan
pemaparannya menurut Amanda tidak ada hubungannya.
“Jelas ada
Manda. Kutub Utara itu dingin, kalo lo misalkan beneran lama tinggal disana
mungkin aja kan hati lo ikutan beku, makanya lo itu gak perasa.” Jelas Tia.
Amanda
merenungkan kata-kata Tia. Perasa? Amanda memang tidak peka, karenanya ia
selalu melakukan apa yang nafsunya katakan. Amanda tidak peka dengan
sekelilingnya, yang ia tahu ia harus memenuhi egonya. Sampai detik ini pun yang
Amanda pikirkan hanyalah ketidak adilan tentangnya. Amanda tidak pernah
memahami alasan dari baliknya. Alasan tidak pernah ingin tahu mengapa orang
tuanya bercerai, ia hanya menyimpulkannya sendiri. Amanda tidak pernah menanyakan
alasan pada dirinya mengapa ia tidak senang melihat orang lain berbahagia
hingga ia merenggut kebahagiaan orang lain.
Amanda selalu
egois. Inilah yang membuatnya tidak perasa. Yang Amanda pikirkan hanya dirinya
saja, tidak peduli dengan orang lain. Tapi mengapa sekarang benak Amanda malah
merenungkan kata-kata Tia? juga kata-kata anak laki-laki di atap tadi.
Esok pagi,
Amanda terbangun sangat pagi sekali. Karena hari minggu Amanda berencana
membawa Roki, si anjing kesayangannya untuk jalan-jalan di taman. Gonggongan
riang Roki menyatakan senang diajak berjalan-jalan oleh sang pemilik. Amanda
memasangkan tali di leher Roki dan segera pergi.
Bunga-bunga dan
hamparan rumput hijau ditambah udara segar di pagi hari sangat menyegarkan.
Roki berlarian kesana-kemari dengan sangat lincah. Sesekali Roki juga
melompat-lompat, bermanjaan dengan Amanda dan menciumi kaki Amanda.
Setelah cukup
lelah mereka beristirahat duduk di bangku taman. Amanda memerhatikan
sekelilingnya. Ternyata setiap orang berbeda. Ada orang yang terlihat bahagia,
ada pula yang termenung sedih, ada juga yang sedang mengkhawatirkan anaknya
yang terjatuh.
“Serius
banget.” Ucap seseorang membuyarkan lamunan Amanda. Dia laki-laki asing di atap
tempat bimbel. Laki-laki yang sama, namun banyak lebam dan luka di wajahnya,
seperti baru saja dipukuli.
“Muka lo
kenapa?” Tanya Amanda penasaran.
“Ini, ini, ini.
Semuanya gue dapet pas nolongin adik gue.” Jawab laki-laki itu.
Perasaan Amanda
tiba-tiba saja iba melihat laki-laki itu. Akal Amanda bertanya-tanya mengapa
laki-laki itu rela berkorban untuk menolong orang lain. “Kayaknya lo emang suka
ikut campur sama urusan orang lain ya.” Celetuk Amanda yang malah disambut tawa
si laki-laki.
“Gue cuma
peduli. Lagian gue gak tega liat adik gue dipukulin bokap cuma karena nilainya
yang B.” Jelas si laki-laki.
“Terus di atap
pas semalem kenapa lo ngehentiin gue?” Tanya Amanda penasaran.
“Karena gue
juga peduli.” Jawabnya sembari mengelus-elus bulu lebat Roki.
“Ngapain lo
peduli sama orang yang gak kenal?” Amanda semakin penasaran, untuk apa
memedulikan orang lain yang bahkan tidak akan tahu efeknya nanti sepeti apa.
Seperti laki-laki itu yang malah mendapat ganjaran dipukuli karena memedulikan
orang lain.
“Apa salahnya? gue
punya akal sama perasaan, karenanya gue ngehentiin lo. Gue tahu barang yang mau
lo bakar itu bukan barang milik lo. Meski gue gak tahu alasan sebenarnya kenapa
lo harus ambil barang orang lain dan mau ngebakarnya, tapi menurut gue itu gak
benar.” Jelas laki-laki itu.
“Gue benci sama
mereka, mereka selalu beruntung. Meskipun gue nyakitin mereka, nanti juga
mereka bakalan bahagia lagi karena mereka pemeran utama.” Amanda mencoba
memberi pemahaman pada si laki-laki. Menurutnya yang dilakukannya tidaklah
salah.
“Terus lo, apa
lo pemeran antagonis?” Tanya laki-laki itu yang dijawab anggukan oleh Amanda.
“Kenapa?”
“Menurut gue
itu lebih baik. Karena mereka memiliki cangkang yang kuat, mereka juga akan
selalu terlihat tangguh. Mereka hanya akan tahu warna hitam dan putih dalam
kehidupan. Tidak perlu mengurus orang lain dan tidak butuh orang lain, cukup
dirinya saja.”
“Lo salah,
dunia ini berwarna. Menjadi kuat bukan berarti harus jahat. Lo harus gunain
akal sama perasaan lo, karena itu adalah anugrah dari Tuhan. Lo punya akal agar
lo bisa bedain mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk. Juga dalam
tubuh lo, lo punya hati yang berfungsi untuk merasa. Hati hadir untuk membatasi
ego, itu mengapa penting untuk mendengarkan kata hati agar lo gak terlampau
egois.”
“Memang apa
salahnya dengan egois. Gue egois karena gue peduli sama diri gue sendiri.”
Tukas Amanda.
“Lo boleh
peduli sama diri lo sendiri, tapi lo juga jangan lupa bahwa fitrah manusia itu
adalah hidup bersosial. Kalo perangai lo saja buruk, bagaimana dengan kehidupan
sosial lo selanjutnya, lo masih punya masa depan. Karenanya lo jangan hanya
tumbuh secara fisik saja, tapi jiwa lo juga harus ikut tumbuh. Dan gue inget
sebuah kalimat dari buku, katanya sendiri itu memang lebih cepat, tapi bersama
lebih nikmat. Sendiri mungkin terasa lebih mudah, tapi bersama lebih indah.”
Amanda tertohok
dengan pernyataan laki-laki itu. Betapa egoisnya ia selama ini. Ia hanya tumbuh
secara fisik saja, tapi jiwanya tidak? Dunia tidak akan selamanya begini-begini
saja. Dunia bukan hanya bercerita masa lalu dan masa kini, tapi ada juga masa
depan. Kemana akal dan hatinya selama ini? Amanda selalu terkurung pada masa
lalu kelam tanpa mau mencari pintu keluar. Sudut pandangnya hanya berkeliling
tentangnya, tanpa mau menerima orang lain.
“Apa gue
manusia yang sangat buruk?” Tanya Amanda lirih, entah ia tujukan pada dirinya
atau orang yang di sampingnya.
“Semua bisa
diperbaiki asal lo mau berubah. Gak ada kata terlambat selama lo masih bernafas
dan nginjak bumi. It’s okay, everyone has a past but everyone has a chance
too.” Laki-laki itu mencoba menenangkan. Memang benar, semua orang memiliki
kesempatan kedua, jika tidak masih ada kesempatan yang lain. Tidak usah
berkecil hati, karena yang rusak tentu bisa diperbaiki meski tak akan sempurna.
Maka, benar
kata pepatah bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Kesia-siaan yang pernah
dilakukan Amanda tidak akan pernah lagi ingin Amanda ulangi. Yang merugi bukan
hanya saja dirinya, tapi juga orang-orang disekelilingnya. Cukup bagi Amanda
menjadi manusia yang tidak berguna, yang hanya terkunci pada masa lalu.
Sekarang Amanda ingin menemukan pintu untuk keluar, untuk menjadi manusia yang
lebih baik, yang tidak hanya mampu merusak tapi juga mampu memperbaiki.
Benar kata
laki-laki itu, bahwa semua orang punya kesempatan. Maka Amanda pun mulai
mengharapkan masa depan. Ia mulai bermimpi dan punya tujuan. “Tears will not
eraser your sorrow, hope deos not make you successful, courage will get you
there”- Johni Pangalila.
Ingat ini, “There
Will Be Laughter With Sorrow, There Will Be A Rainbow After The Rain”.
Apakah aku sudah baca semuanya?? Woaah
ReplyDeleteKind man
DeletePlus comment semua wkwkw
DeleteKo man sih hem:(
DeleteMan is human
Delete