Skip to main content

Sebentar Saja

 Oleh : Wardah

    “Tolong disampingku dan genggam tanganku, sebentar saja, aku ingin bersandar dibahumu. Aku mengantuk dan lelah, hari ini begitu terasa panjang. Banyak sekali yang terjadi.

“Aku terlambat dihari pertama bekerjaku, ini sungguh buruk bukan? tentu saja aku kena omel bos baruku. Dan tidak ada yang bisa aku lakukan, aku hanya mengangguk dan terus meminta maaf. Dan pekerjaanku ternyata tidak mudah. Sungguh, ini seperti sedang masa orientasi. Para seniorku semuanya mengujiku dengan banyak pekerjaan. Aku harus bolak-balik naik turun tangga, aku tidak bisa naik lift, karena listrik mati. Sungguh menjengkelkan.

“Disaat jam istirahat makan siang aku tak bisa makan. Pencernaanku sedang tidak baik, perutku malah merengek kesakitan. Alhasil aku hanya terbaring di tempat istirahat. Dan yang paling parah, aku tidak bisa pulang dengan tepat waktu. Bosku terus meneriakiku karena pekerjaanku berantakan. Aku tidak diizinkan pulang sebelum pekerjaanku selesai. Bukankah saat kuliah dulu aku pandai kan? nilaiku selalu paling baik, tapi mengapa aku tidak bisa mengerjakan pekerjaan mudah di kantor? aku terus mengulangi kesalahan yang sama. Apa aku ini sebenarnya bodoh?”

Laki-laki disampingku menggeleng. “Kamu tidak bodoh, kamu hanya belum terbiasa.” Ujarnya. Mungkin hanya untuk membuatku tenang.

Dia memelai lembut puncuk rambutku, seperti memberikan energi baru.

“Kamu adalah perempuan yang paling kuat yang pernah aku kenal. Mungkin perempuan lain akan merengek menangis dan sudah memutuskan berhenti. Tapi kamu tidak berpikir seperti itu bukan?” Aku mengangguk. “Bagus. Ini hanya permulaan. Buktikan pada para senior dan bos barumu itu, kamu tidak terbatas, kamu paling kuat.” Sekali lagi dia membelai lembut puncuk rambutku.

“Manusiawi jika kamu mengeluh. Manusia sehebat nabi pun pernah mengeluh. Tapi jangan jadikan keluh kesahmu itu menjadi dongkol dan malah membuatmu ingin menyerah. Tapi kamu harus jadikan keluh kesahmu itu sebagai obat stamina, agar kamu semakin bersemangat dan semakin berkembang maju.”

Aku mengangguk mengerti. Benar, aku tidak lemah, aku itu kuat.

Memiliki seseorang sebagai sandaran adalah sebuah solusi. Bagaimana tidak? dia menguatkanku disaat aku merasa lemah. Dia memberikan vitamin baru agar aku kembali ceria. Dan terkadang dia pun membukakan jalan untukku, menyadarkanku tentang apa yang sebaiknya aku lakukan.

Sebentar saja, berbagi masalah bukanlah hal yang buruk. Berceritalah dan temukan ketenangan.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ketika Hukum dan Kekuasaan Bisa Dibeli: ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’

Judul Buku : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Penulis : Tere Liye Penerbit : Sabakgrip Tahun Terbit : Februari 2024 Tebal : 371. hlm Karya terbaru dari Darwis atau dikenal dengan nama pena Tere Liye kembali membuat saya terbawa suasana usai membaca buku berjudul ‘Teruslah Bodoh Jangan Pintar’ yang terbit Februari lalu. Sebenarnya sepanjang saya menghabiskan buku ini banyak rasa sesak dan prihatin dengan cerita yang disajikan dalam novel bergenre fiksi kriminal ini karena begitu dekat dan berani. Buku ini menarik perhatian saya usai comedian Ernest Prakasa membagikan ulasannya terkait buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar dalam postingannya di Instagram. Yang menarik disampaikan bahwa buku ini mengandung alur yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, atau mungkin bisa dibilang mewakili suara masyarakat? Haha entahlah, namun buku ini hanya novel fiksi kata Tere Liye. Teruslah Bodoh Jangan Pintar memiliki alur maju mundur yang berkisah soal kejadian sidang konsesi di ruangan 3x6 meter. Adu a...

Sehari di Museum Pos Indonesia

Tampak Depan Museum Pos Indonesia

Belajar Tumbuh Bersama Novel ‘Manusia dan Badainya’

Sebagian besar kita tumbuh bersama luka. Mengapa? Karena inilah kehidupan, bersama luka kita tahu cara menghargai, bersama luka mungkin kita tidak akan egois lagi dengan diri sendiri, bersama luka juga kita tahu arti pengorbanan yang sesungguhnya. Begitulah hidup, sedikit terdengar kejam, namun harus tetap kita dijalani. Luka yang datang tanpa kita jemput dan pergi perlu kita paksa ini takayal menggerogoti detik demi detik dan momen demi momen untuk sesuatu yang kita harap, yaitu bebas. Melalui salah satu novel healing berjudul Manusia dan Badainya karya Syahid Muhammad kita akan dibawa menelusuri perjalanan panjang menuju kata ‘pulih’. Manusia dan Badainya, bagiku, buku yang terlalu kejam. Penderitaan para tokoh dimainkan bak realistik. Membuatku berpikir kerapuhan, kehilangan arah, dan tentunya luka dalam diri mereka adalah kemalangan yang perlu bantuan. Penulis sangat apik menggambarkan bagaimana luka-luka itu tumbuh, mencari penopang sebagai sandaran, membersamai orang-orang d...